Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara wajib menyediakan layanan pendidikan bermutu bagi semua warga negara. Di sisi lain, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.
Pendidikan nonformal, sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan, diarahkan untuk memberika layanan pendidikan kepada masyarakat yang belum sekolah, tidak pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah, dan kelompok masyarakat lain yang kebutuhan pendidikannya tidak dapat terpenuhi melalui jalur pendidikan formal. Dengan demikian pendidikan nonformal dapat berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mewujudkan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan kecakapan hidup dan kursus, sebagai salah satu program pendidikan nonformal, bertujuan mengembangkan keterampilan, kecakapan, dan profesionalisme warga belajar untuk bekerja dan/atau beusaha secara mandiri. Selain itu, program ini diharapkan dapat mengembangkan kapasitas kelembagaan kursus dan pelatihan agar memiliki daya saing internasional. Prinsip fondamental dari penyelenggaraan pendidikan nonformal adalah partisipasi aktif masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang efektif, efisien, dan akuntabel menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat penyelenggara pendidikan dan pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, pencitraan kelembagaan yang transparan dan akuntabel menjadi kebutuhan mutlak yang harus dapat dipenuhi oleh setiap penyelenggara pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah pusat berperan memberikan fasilitasi dan pengendalian dalam penjaminan mutu.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah penataan dan pengembangan sistem pendataan dan informasi untuk mendukung pengelolaan dan koordinasi, baik di tingkat pusat, daerah, penglola, dan penyelenggara. Untuk itu, pada tahun 2007, telah dilakukan pengumpulan data kursus. Publikasi ini merupakan hasil dari pendataan tersebut dan disusun dengan tujuan memberikan informasi kepada semua pihak mengenai lembaga kursus yang ada di Indonesia, khususnya data jumlah lembaga, peserta, lulusan, pendidik, dan prasarana.
Data yang disajikan dalam publikasi ini mencakup data lembaga, peserta, lulusan, pendidik, dan prasarana pendidikan dari seluruh lembaga kursus yang ada di Indonesia. Data yang disajikan adalah data nasional dengan rincian tingkat provinsi. Data lembaga dirinci menurut status perijinan, status kepemilikan, dan ujian yang diselenggarakan. Data peserta dirinci menurut jenjang pendidikan, kegiatan utama, dan jenis kelamin. Lulusan dirinci menurut jenis ujian dan jenis kelamin. Pendidik dirinci menurut kewarganegaraan, jenjang pendidikan, status kepegawaian, dan sertifikat profesi yang dimiliki. Data prasarana yang disajikan mencakup kepemilikan gedung dan ketersediaan ruang teori dan ruang praktek.
II. METODOLOGI
Populasi dalam pengumpulan data ini adalah seluruh lembaga kursus yang ada di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan ke seluruh sumber data, yaitu lembaga kursus, melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, selanjutnya dirangkum oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Data yang dikumpulkan adalah data kegiatan di lembaga kursus selama 1 tahun terakhir. Artinya, jumlah peserta yang dilaporkan tidak hanya peserta yang pada saat pengumpulan data masih tercatat sebagai peserta, melainkan termasuk peserta pernah tercatat sebagai peserta dalam waktu 1 tahun terakhir. Demikian pula jumlah lulusannya. Bila dalam kurun waktu tersebut lembaga kursus melaksanakan 2 kali ujian, jumlah lulusan yang dilaporkan adalah jumlah lulusan dari 2 ujian tersebut.
Meskipun dirancang pengumpulan data dilakukan di seluruh Indonesia, dalam pelaksanaannya data dari Provinsi Maluku Utara tidak masuk sama sekali. Dengan demikian data yang disajikan dalam publikasi ini hanya mencakup 32 provinsi saja.
Pengolahan dan analisis data dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan bekerjasama dengan Pusat Statistik Pendidikan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif.
III. HASIL
Di seluruh Indonesia terdapat 13.446 lembaga kursus yang tersebar di seluruh Indonesia. Seluruh lembaga kursus tersebut memiliki 90.946 orang pendidik yang melayani 1.348.565 peserta. Dari lembaga kursus yang ada di Indonesia lebih dari setengahnya (59,50%) berada di Pulau Jawa, khususnya Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur.
A. LEMBAGA
Dari 13.446 lembaga kursus yang ada di Indonesia, 11.207 lembaga (83,35%) sudah memiliki ijin operasi. Sisanya, sebesar 10,20% lembaga sedang dalam proses mengurus ijin dan 6,45% lembaga belum memiliki ijin (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga kursus sudah resmi dan dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya. Lembaga yang belum memiliki ijin perlu dibina dan didorong untuk segera mengurus perijinannya. Status perijinan lembaga memberikan kepastian bagi peserta untuk mendapatkan layanan pendidikan dan sertifikat yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja.
Gambar 1. Lembaga Menurut Status Perijinan
Jumlah lembaga kursus keseluruhan sebanyak 13.446 dengan rincian sebanyak 9.209 (68,49%) berstatus perseorangan, 4.164 (30,97%) berstatus yayasan atau badan hukum lain dan 73 atau (0,54%) adalah dengan status kerjasama dengan lembaga asing. (Gambar 2)
Gambar 2. Lembaga Menurut Status
Dari jumlah kursus yang statusnya kerjasama dengan lembaga lain hanya terdapat di 8 (delapan) provinsi. Kedelapan provinsi tersebut adalah Banten, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengan dan Jawa Timur.
B. PESERTA
Jumlah peserta kursus mencapai 1.348.565 orang yang terdiri dari peserta laki-laki sebanyak 598.277 atau (44,36%) dan perempuan sebanyak 750.288 atau (55,64%). Dari keseluruhan peserta kursus tersebut terdiri dari berbagai tingkat pendidikan mulai dari SD sampai S2 atau S3. Dilihat dari persentase peserta didik ternyata peserta dengan tingkat pndidikan SMA menempati urutan pertama yaitu sebesar 45,51%, kemudian diikuti tingkat pendidikan SMP sebesar 22,97%, SD 17,84%, S2/S3 sebanyak 10,11% dan terkecil adalah tingkat pendidikan S1 yaitu sebesar 5,42. Yang cukup menarik adalah bahwa jumlah peserta kursus dengan tingkat pendidikan S2/S3 ternyata hampir dua kali bila dibandingkan dengan S1. (Gambar 3)
Gambar 3. Peserta Kursus Menurut Pendidikan
Secara keseluruhan jumlah peserta laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi apabila diperhatikan setiap provinsi maka ada dua provinsi yaitu provinsi Papua dan Papua Barat jumlah peserta kursus laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Peserta kursus dengan status masih sekolah menempati urutan pertama yaitu sebesar 70,88%, kemudian peserta dengan status bekerja (16,07%) dan diurutan terakhir adalah dengan status lain-lain (13,04%). Peserta kursus dengan ststus sekolah ini adalah berupa bimbingan belajar. Peserta kursus dengan tingkat pendidikan S1 dan S2/S3 ternyata didominasi oleh provinsi DKI Jakarta.
C. LULUSAN
Penyelenggaraan ujian kursus dapat dibedakan menjadi (4) empat macam yaitu ujian lokal/lembaga (79,50%0, ujian nasional (17,50%), ujian internasional (1,79%) dan ujian kompetensi atau profesi (1,21%). (Gambar 4). Dari keempat jenis ujian tersebut berhasil meluluskan sebanyak 798.845 atau (90,14%), ujian nasional 78.942 atau (8,91%) dan ujian internasional sebanyak 8.398 atau (0,95%). (Gambar 5).
Gambar 4. Kursus Menurut Ujian Yang Diselenggarakan
Sesuai dengan jumlah peserta kursus menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak dibanding laki-laki maka demikian pula pada jumlah lulusan yaitu 497.637 atau (56,15%) perempuan dan 388.548 atau (43,85%). Walaupun secara global jumlah lulusan lebih besar perempuan, akan tetapi bila dilihat secara rinci menurut jenis ujian maka untuk kursus dengan ujian internasional lulusan laki-laki lebih besar apabila dibandingkan dengan perempuan yaitu 5.140 atau (61,21%). (Gambar 5).
Gambar 5. Lulusan Menurut Jenis Ujian dan Jenis Kelamin
D. PENDIDIK
Data mengenai tenaga pendidikan mencakup kewarganegaraan, latar belakang pendidikan, status kepegawaian, dan sertifikasi yang dimiliki. Dari 90.946 orang pendidik yang ada, 88.900 pendidik (97,8%) berwarga negara Indonesia (WNI). Sisanya, sebesar 2,2% pendidik berwarga negara asing (WNA) (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi sudah masuk ke industri pendidikan, khususnya kursus. Bila dirinci menurut jenis kelamin, ternyata proporsi pendidik perempuan (53,2%) lebih besar dibanding pendidik laki-laki (46,8%), yang terdiri dari 45,5% WNI dan 1,3% WNA. Proporsi pendidik WNA paling tinggi terdapat di Bengkulu, 12,9%. Di provinsi lainnya proporsi pendidik WNA kurang dari 5%, sedangkan 7 provinsi tidak memiliki pendidik WNA.
Gambar 6. Pendidik Menurut Kewarganegaraan
Dirinci menurut jenjang pendidikan, sebagian besar pendidik (57,0%) berpendidikan S1 (sarjana) dan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidik di lembaga kursus pada umumnya sudah baik. Jumlah pendidikmenurut tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 8. Bila dirinci menurut jenis kelamin, hampir di semua jenjang pendidikan, proporsi pendidik laki-laki lebih besar dibanding prosporsi pendidik perempuan, kecuali pendidik berpendidikan S2 dan S3. Proporsi pendidik laki-laki berpendidikan S2 (2,7%) lebih besar dibanding perempuan (1,3%), sedangkan proporsi pendidik berpendidikan S3 sama antara laki-laki dan perempuan, yatu 0,2%.
Gambar 7. Pendidik Menurut Tingkat Pendidikan
Bila dilihat perbandingan antar provinsi, ternyata di 19 provinsi lebih dari 57% pendidik berpendidikan S1 dan yang lebih tinggi, artinya lebih tinggi dari rata-rata nasional. Di 23 provinsi lebih dari 50% pendidik berpendidikan S1 dan yang lebih tinggi. Proporsi pendidik berpendidikan S1 dan yang lebih tinggi tertinggi sebesar 74,3% dan yang terendah sebesar 20,1%.
Bila dilihat jenis kelamin pendidik, tanpa memperhatikan tingkat pendidikan, 46,8% pendidik yang berjenis kelamin laki-laki. Meskipun secara nasional lebih banyak pendidik laki-laki, namun di 8 provinsi pendidik laki-laki lebih banyak dibanding pendidik perempuan. Proporsi pendidik laki-laki tertinggi sebesar 60,4% dan yang terendah sebesar 35,7%.
Gambar 8. Pendidik Menurut Status Kepegawaian
Dirinci menurut status kepegawaian, lebih banyak pendidik yang berstatus pegawai tetap (55,7%). Hal ini menunjukkan bahwa pendidik menetap sehingga ada jaminan proses belajar mengajar atau layanan kepada peserta tidak beresiko terhenti karena ketidakberadaan pendidik. Dilihat dari jenis kelamin, baik pendidik yang berstatus pegawai tetap maupun tidak tetap, proporsi pendidik perempuan lebih besar dibanding proporsi laki-laki. Bila dibandingkan antarprovinsi, proporsi tertinggi pendidik berstatus pegawai tetap sebesar 85,9% dan proporsi terendah sebesar 30,9%. Terdapat 17 provinsi memiliki proporsi pendidik berstatus pegawai tetap lebih dari 55,7%, yang berarti lebih tinggi dari angka nasional. Sebaliknya, 11 provinsi memiliki proporsi pendidik berstatus pegawai tetap kurang dari 50%.
Gambar 9. Pendidik Menurut Sertifikat Profesi
Dilihat kepemilikan sertifikat profesi, sebagian besar pendidik memiliki sertifikasi tingkat nasional (83,7%). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidik sudah baik sehingga diharapkan lulusannya diharapkan juga baik. Terdapat 4,1% pendidik yang memiliki sertifikasi internasional. Hal ini merupakan nilai tambah yang perlu terus dikembangkan agar lulusan lembaga kursus mampu bersaing di pasar tenaga kerja. Sebaliknya, masih ada 12,2% pendidik yang belum memiliki sertifikasi. Pemerintah perlu mendorong lembaga kursus untuk meningkatkan kualitas pendidik dengan memberi motivasi kepada pendidik agar memiliki sertifikasi profesi.
Bila dibandingkan antarprovinsi, proporsi tertinggi pendidik bersertifikat profesi tingkat nasional sebesar 96,7% dan proporsi terendah sebesar 27,6%. Terdapat 15 provinsi memiliki proporsi pendidik bersertifikat profesi tingkat nasional lebih dari 83,7%, yang berarti lebih tinggi dari angka nasional. Sebaliknya, 3 provinsi memiliki proporsi pendidik bersertifikat profesi tingkat nasional kurang dari 50%. Proporsi tertinggi pendidik bersertifikat profesi tingkat internasional sebesar 19,1% dan proporsi terendah sebesar 0,0%. Terdapat 9 provinsi memiliki proporsi pendidik bersertifikat profesi tingkat internasional lebih dari 4,1%, yang berarti lebih tinggi dari angka nasional. Sebaliknya, 6 provinsi memiliki proporsi pendidik bersertifikat profesi tingkat internasional kurang dari 1%. Sebaliknya, proporsi tertinggi pendidik tidak bersertifikat profesi sebesar 72,0% dan proporsi terendah sebesar 2,6%. Terdapat 13 provinsi memiliki proporsi pendidik tidak bersertifikat profesi kurang dari 12,2%, yang berarti lebih rendah dari angka nasional. Sebaliknya, 8 provinsi memiliki proporsi pendidik tidak bersertifikat profesi lebih dari 20%.
E. PRASARANA
Data mengenai prasarana pada lembaga kursus mencakup kepemilikan gedung serta ketersediaan ruang teori dan ruang praktek. Dari seluruh lembaga kursus, 7.282 lembaga (54,2%) memiliki gedung sendiri, 5.271 lembaga (39,2%) masih menyewa gedung untuk kegiatan belajar mengajar, 394 lembaga (2,9%) menggunakan gedung bebas sewa (pinjam), dan 498 lembaga (3,7%) memiliki menggunakan gedung dengan status lainnya (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separo lembaga kursus sudah memiliki gedung sendiri untuk mendukung proses belajar mengajar. Persentase lembaga yang memiliki gedung sendiri bervariasi antarprovinsi. Empat provinsi memiliki lebih dari 60% lembaga yang memiliki gedung sendiri, 11 provinsi memiliki 50%-60% lembaga yang memiliki gedung sendiri, 14 provinsi memiliki 40%-50% lembaga yang memiliki gedung sendiri, dan 1 provinsi dengan kurang dari 40% lembaga memiliki gedung sendiri, tepatnya hanya 25,2%.
Gambar 10. Lembaga Menurut Kepemilikan Gedung
Dari 13.446 lembaga kursus yang ada di Indonesia, 12.646 lembaga (94,1%) memiliki ruang teori dan 11.229 lembaga (83,5%) memiliki ruang praktek (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga kursus sudah melengkapi diri dengan ruang yang memadai bagi pesertanya. Persentase lembaga yang sudah memiliki ruang teori masing-masing provinsi juga cukup tinggi. Enambelas provinsi memiliki lebih dari 95% lembaga yang memiliki ruang teori, 13 provinsi memiliki 90%-95% lembaga yang memiliki ruang teori, dan 3 provinsi dengan yang kurang dari 90% lembaga memiliki ruang teori.
Gambar 11. Lembaga Menurut Ketersediaan Ruang
Delapan provinsi memiliki lebih dari 90% lembaga yang memiliki ruang praktek, 15 provinsi memiliki 80%-90% lembaga yang memiliki ruang praktek, 8 provinsi memiliki 70%-80% lembaga yang memiliki ruang praktek, dan 1 provinsi dengan yang kurang dari 70% lembaga memiliki ruang praktek.
F. INDIKATOR
Data mengenai indikator pada lembaga kursus mencakup Rasio Peserta/Lembaga (Rasio P/L), Rasio Peserta/Pendidik (Rasio P/Pd), Rasio Pendidik/Lembaga (Rasio Pd/L), dan Persentase Lulusan (% Lulusan). Secara nasional data Rasio P/L yaitu 100, untuk Rasio P/Pd yaitu 15, untuk Rasio Pd/L yaitu 7, dan untuk % Lulusan yaitu 65,71%.
Dirinci menurut indikator Rasio P/L dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu Kelompok diatas diatas angka nasional dan Kelompok dibawah angka nasional. untuk kelompok diatas angka nasional terdapat 13 provinsi yaitu Provinsi Maluku, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, DKI jakarta dan D I Yogyakarta, itu berarti di provinsi tersebut rasio P/L menunjukan besar. sedangkan 20 provinsi lainnya masuk kedalam kelompok dibawah rata-rata angka nasional.
Dirinci menurut indikator Rasio P/Pd dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu diatas diatas angka nasional, sama dengan angka nasional, dan dibawah angka nasional. untuk kelompok diatas angka nasional terdapat 10 provinsi yaitu Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Lampung, DKI Jakarta, untuk kelompok sama dengan angka nasional terdapat 3 provinsi yaitu Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, sedangkan 19 provinsi lainnya berada dibawah angka nasional.
Rasio Pd/L dikelompokan menjadi 3, yaitu diatas diatas angka nasional, sama dengan angka nasional, dan dibawah angka nasional. Untuk kelompok diatas angka nasional terdapat 11 provinsi yaitu Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, D I Yogyakarta, Bengkulu, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sulawesi Tengah. Untuk kelompok sama dengan angka nasional terdapat 6 provinsi yaitu Jambi, Jawa Timur, DKI jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Jawa Tengah. Sedangkan 15 provinsi lainnya dibawah angka nasional.
Indikator kelulusan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu Kelompok diatas diatas angka nasional dan Kelompok dibawah angka nasional. untuk kelompok diatas angka nasional terdapat 14 provinsi yaitu Provinsi Kepulauan riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nanggroe Aceh Darussalm, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Bali, Papua dan Papua Barat. Sedangkan 18 provinsi lainnya dibawah angka kelulusan nasional.
Yang menarik terdapat 2 provinsi dengan kelulusan lebih dari 100 % yaitu Kepilauan Riau (113,32%) dan D I Yogyakarta (102,54%) hal ini kemungkinan ada peserta ujian yang berasal dari tahun lalu tetapi mengikuti ujian di tahun yang sedang berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar